Nasional | KEPRIBETTER.COM : Polda Metro Jaya menetapkan Ratna Sarumpaet sebagai tersangka penyebaran berita bohong atau hoaks soal penganiayaan dirinya.
Polisi menjerat Ratna dengan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Ratna pun terancam hukuman pidana 10 tahun penjara.
Salah satu peraturan yang menjerat Ratna, yakni UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Diketahui UU itu pertama kali ditandatangani oleh Presiden ke-1 RI Soekarno. Hingga saat ini peraturan itu masih dipakai untuk menjerat pelaku penyebaran hoaks.
“Iya itu pasal yang dikenakan dan belum diperbarui,” kata Setyo di Mabes Polri Jakarta, Jumat (5/10).
UU Nomor 1 tahun 1946 merupakan penegasan dari hukum pidana yang dirancang pada masa kolonial. Soekarno meneken peraturan tersebut pada tanggal 26 Februari 1946 dan menjadikannya sebagai dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS). Dua istilah ini dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain UU Nomor 1 Tahun 1946, ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan ada sejumlah peraturan lain terkait penyebaran berita bohong alias hoaks, seperti Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, serta Pasal 311 dan 378 KUHP.
“Dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” kata Fickar dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (5/10).
Fickar menjelaskan dalam hukum dikenal dengan bohong putih dan bohong hitam. Bohong putih ialah kebohongan yang dimaksudkan untuk menstabilkan atau menenteramkan suatu keadaan.
“Tapi kalau bohong hitam adalah berita hoaks ini. Dengan tujuan ketidaktertiban atau merugikan seseorang atau kelompok lain,” jelas dia.
Hal yang perlu dilihat dari berita bohong adalah aspek merugikan orang lain. Jika kebohongan itu merugikan suatu kelompok masyarakat maka penegak hukum bisa menerapkan Pasal 15 dan 14 UU Nomor 1 tahun 1946.
Sementara untuk Pasal 28 ayat 2 UU ITE diterapkan jika berita bohong dilakukan melalui transkasi elektronik atau media internet.
Sementara klausul merugikan dalam bentuk perseorangan bisa dikenakan Pasal 311 KUHP tentang Fitnah dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Untuk kasus Ratna, Fickar melihat, ada sejumlah hal kenapa dijerat dengan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946. Pertama, harus ada keterangan bahwa Ratna tidak dalam posisi sakit jiwa.
Kedua, fakta ia didatangi sejumlah tokoh harusnya disadari Ratna bahwa berita itu bakal bisa tersebar dengan massif. Artinya dampak dari publikasi itu berpotensi menimbulkan kegaduhan.
“Sangat potensial menimbulkan keonaran, menjadi bukti bahwa ada pengetahuan dan kehendak agar berita itu tersebar. Di titik inilah letak kesalahan sebagai unsur kesengajaannya,” tutup dia.
Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 ayat (1) berbunyi, ‘barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.b
Ayat (2), ‘barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.’
Sementara Pasal 15 berbunyi, ‘barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.’ (ctr-cnn)