Anggota DPRD Provinsi Kepri Ir Wirya Putra Sar Silalahi. (Foto: J5NEWSROOM.COM)
KEPRIBETTER.COM, Batam – Berangkat dari keprihatinan yang dalam soal bentrokan antara masyarakat Melayu Pulau Rempang dengan aparat keamanan, maka sebagai anggota DPRD Provinsi Kepri dari daerah Kota Batam, anggota DPRD Provinsi Kepri Ir. Wirya Putra Sar Silalahi merasa terpanggil untuk urun solusi.
Apalagi, benturan antara mereka dengan aparat keamanan gabungan TNI-Polri, Direktorat Pengamanan (Ditpam) Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Satpol PP di Jembatan IV dan depan Kantor BP Batam Batam Center, telah menjadi atensi Presiden Joko Widodo.
“MASA urusan gitu sampai Presiden,” ujar Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pembukaan Sewindu Proyek Strategi Nasional (PSN) di Jakarta Selatan, Rabu, 13 September 2023 lalu.
Bahkan, Presiden Jokowi sampai menelepon Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada malam hari, Selasa (12/9/2023), untuk membahas konflik yang terjadi di Pulau Rempang Kota Batam itu. “Ya itu bentuk komunikasi yang kurang baik, saya kira kalau warga diajak bicara, diberikan solusi,” kata Presiden Jokowi kepada wartawan di Pasar Kranggot, Cilegon Banten, Selasa (12/9/2023), terkait konflik di Pulau Rempang.
Sampai akhirnya, dalam beberapa hari terakhir, konflik Pulau Rempang tidak hanya telah menjadi berita viral dan menarik atensi publik di Indonesia saja, tapi juga dunia internasional. Makanya, anggota DPRD Provinsi Kepri dari Partai NasDem Wirya Putra Sar Silalahi itu kembali menegaskan, bahwa warga yang berdiam di Pulau Rempang itu ada dua kelompok masyarakat.
Kelompok pertama, penduduk asli tempatan yaitu masyarakat Melayu yang sudah ratusan tahun tinggal di sana secara turun temurun. “Mereka telah menetap di Pulau Rempang sejak sebelum jalan raya dan jembatan Barelang dibangun, tahun 1998. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, dan alat transportasi mereka sehari-hari adalah perahu. Kebanyakan mereka bermukim di pinggir pantai atau pesisir,” papar Wirya Putra Sar Silalahi kepada BATAMTODAY.COM, Minggu (17/9/2023).
Kelompok kedua, adalah para pendatang. Yaitu, mereka yang bermukim di Pulau Rempang setelah jembatan dan jalan barelang dibuka, tahun 1998. Banyak dari mereka yang berkebun dan menggarap lahan. “Setelah 1998, memang banyak beredar penjualan lahan di Barelang, termasuk Rempang. Sejak itulah mulai banyak masuk para pendatang yang menggarap lahan di Pulau Rempang,” lanjut Wirya yang juga Penasehat IA-ITB Wilayah Kepri itu.
Para pemilik lahan kelompok kedua tersebut, lanjut Wirya, biasanya bermukim di luar Pulau Rempang. Yang tinggal di sana adalah para pekerja penggarap lahan.
Maka, dalam menghadapi kedua kelompok tersebut, BP Batam harus melakukan perlakuan yang berbeda. “Penduduk tempatan, seharusnya menjadi prioritas untuk mendapatkan lahan dan perumahan pengganti, sedang penduduk pendatang yang sudah berdomisi di sana mendapat prioritas kedua,” ungkap Wirya urun solusi.
Kemudian, bagi para pemilik lahan yang tidak berdomisili di Pulau Rempang, tidak perlu diberi ganti perumahan, cukup lahan pengganti sesuai kemampuan BP Batam, kalau pun ada.
Sebenarnya BP Batam dapat memperkirakan jumlah penduduk tempatan Pulau Rempang, dengan membuka data foto udara yang mereka punyai pada tahun 1990-an. Dari situ bisa diplot angka pertumbuhan penduduk tempatan sejak 1998 sampai sekarang.
“Katakanlah pertumbuhan penduduk itu sebesar 5 persen per tahun, padahal rata-rata angka pertumbuhan penduduk di Indonesia berada di kisaran angka 2 persen per tahun, maka dalam waktu 25 tahun pertumbuhan pendudu tempatan di Pulau Rempang adalah sekitar340 persen atau 3,4 kali lipat. Jadi, bila penduduk tempatan pada tahun 1998, misalkan ada 100 keluarga, maka saat ini di tahun 2023, telah bertumbuh sekitar 340 keluarga,” papar alumni ITB itu lagi.
Jadi, lanjut Wirya, saya melihat BP Batam kalah dalam narasi ke publik dengan para pemilik lahan. Terutama, kalah dalam narasi pemberitaan lokal, nasional bahkan internasional.
“Kelihatannya BP Batam kalah narasi, dengan para pemilik lahan yang memang menginginkan keadaan status qou. Karena bila proyek Rempang Eco-City ini terlaksana, maka mereka mengalami kerugian cukup besar. Ini yang perlu diantisipasi oleh BP Batam,” tegas Wirya Silalahi mengakhiri.
Sumber: Batamtoday