Rokok tanpa pita cukai yang beredar di Kota Batam, Kepri. (Foto: Kepribetter.com)
KEPRIBETTER.COM, Batam – Peredaran rokok tanpa dilekati pita cukai (ilegal) di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) kian marak dan bebas.
Adapun rokok ilegal yang beredar dengan bebas di Kota Batam yaitu, H Mind, Rexo, Luffman dan Manchester.
Hal itu mematik respon dari Praktisi dan Akademisi Kota Batam, Joni Ahmad.
Dilansir dari Expossidik.com pada Rabu (6/4/2022), Joni mengatakan, pendapatan negara yang berasal dari pajak rokok dari cukai hasil tembakau diperkirakan sebesar 10 persen dari penerimaan negara. Artinya, dari sekian banyak pajak-pajak yang dikumpulkan negara dari seluruh kegiatan, 10 persennya disumbangkan dari cukai rokok.
Kemudian, pada tahun 2021 lalu target yang ditetapkan oleh pemerintah dari pajak cukai hasil tembakau sebesar Rp 173.7 triliun. Berdasarkan laporan dari Kementerian Keuangan yang dikutip dari media massa, per November 2021 pencapaiannya sudah mencapai Rp 161.7 triliun.
“Artinya, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau sangat berpotensi sekali,” ungkap Joni.
Lebih lanjut dia mengatakan, melihat tingginya potensi pendapatan negara dari cukai hasil tembakau ini, maka pemerintah di tahun 2022 ini kembali menaikkan target tersebut.
“Melihat besarnya potensi pendapatan negara dari cukai hasil tembakau ini, maka pemerintah menaikkan lagi targetnya di tahun 2022 ini menjadi sebesar Rp 193 Triliun,” sebutnya.
Selanjutnya, rokok merupakan suatu produk yang sangat diminati, bahkan menjadi kebutuhan bagi sebagian rakyat Indonesia. Rata-rata jumlahnya bisa mencapai di atas 50 persen dari total penduduk di Indonesia.
Kemudian, kalau dilihat dari berbagai sisi, rokok ini memiliki sisi negatif dan sisi positif. Kalau dilihat dari sisi kesehatan rokok ini lebih condong ke sisi negatif. Lalu, dari sisi moralitas juga bisa menimbulkan sesuatu yang bersifat negatif.
“Tapi, dilihat dari sisi pendapatan negara dari cukai hasil tembakau dan melihat dari sirkulasi perekonomian, rokok ini menjadi suatu komoditas perdagangan yang memberikan nilai-nilai positif bagi pendapatan negara,” imbuhnya.
Selain itu, dengan adanya produsen rokok yang membuka usahanya di Indonesia, otomatis akan membuka peluang tenaga kerja. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasanya buruh pabrik yang bekerja di industri rokok jumlahnya bisa mencapai jutaan tenaga kerja.
“Jika dilihat secara makro, banyaknya masyarakat yang bekerja di industri rokok di Indonesia, otomatis mengurangi pengangguran,” sebutnya.
Namun, dia juga sangat menyayangkan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan nakal yang memproduksi rokok namun tidak mau membayar pajak pita cukai rokok.
Kalau berbicara masalah ekonomi, negara saat ini membutuhkan pendapatan. Dalam hal ini, pendapatan yang dimaksud adalah penerimaan negara dari pajak cukai hasil tembakau.
Joni sangat menyayangkan pernyataan dari Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam hal ini diwakili Bea Cukai Batam di media yang menyebutkan berdasarkan hasil survey rokok ilegal yang kajiannya dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2020 lalu tentang tingkat peredaran rokok ilegal di Indonesia masih dalam kategori aman.
Dikatakannya, kalau berbicara mengenai ekonomi, negara kita saat ini membutuhkan pendapatan. Jadi, sekecil apapun potensi yang akan diterima oleh negara dari pajak, tidak boleh dianggap remeh.
“Dalam kacamata ekonomi, menurut pendapat saya, dari angka 4.86 persen kehilangan negara dari pajak rokok jika dikalikan dari jumlah total target negara dari pendapatan pajak jumlahnya cukup besar,” tegasnya.
Redaksi