Ketua FKMTI, SK Budiardjo (kiri) dan Pengamat Perampasan Tanah, BeaThor Suryadi. (Foto: Dok FKMTI)
Oleh: BeaThor Suryadi, Pengamat Perampasan Tanah
Tiap hari beban kasus di BPN semakin menumpuk. Penumpukan kasus masalah seperti deret ukur, sedangkan penyelesainnya mengikuti deret hitung pun tidak, (seperti Istana Sarang Ular).
Khususnya problem tanah sebagai landasan pembangunan, Pemerintah mempermudah investor untuk mendapatkan lahan luas yang diperlukan untuk membangun perkebunan, pertambangan dan juga property, sedangkan tanah – tanah yg telah habis masa HGU nya yang harus dikonversikan menjadi tanah hak milik Rakyat untuk keperluan menopang kehidupannya sehari-harinya sebagai petani malah tertunda-tunda terus hingga saat ini.
Bahkan tanah-tanah milik Rakyat yang telah bersertipikat pun banyak yang diklaim oleh Investor sebagai termasuk bagian dari HGU sebagai akibat kesalahan Ploting tanah yang diterbitkan BPN, sehingga ini menjadi Sengketa Geospasial yang tidak berani diselesaikan oleh BPN secara profesional dan ilmiah menurut Ilmu Geodesi dan Geomatika.
Malahan terkesan BPN cenderung menghindarinya dengan membuang sengketa ini untuk dilanjutkan secara berlarut-larut di ruang Pengadilan.
Berbagai kasus muncul diantara kebutuhan tersebut, konplik itu menyengsarakan Rakyat dalam mencari keadilan.
Keadilan adalah landasan Negara ini untuk di Merdekakan, dalam Pancasila ada 2 butir tentang Keadilan, Sila ke 2 Kemanusian yang adil dan beradab dan Sila ke 5 Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Warga Sudah punya kekuatan surat menang incrach di Pengadilan pun belum merupakan penyelesaian perkara karena ternyata pihak BPN tidak patuh terhadap tegaknya hukum berkeadilan.
Selain itu Pemerintah juga punya dua Lembaga sebagai wujud pelayanan publik yakni, Ombudsman dan Komisi informasi Publik.
Sayangnya kedua Lembaga ini, hasil keputusannya pun di abaikan oleh BPN.
UU No 14 tahun 2008 merupakan UU yang sia sia karena Komisi ini tidak maksimal dalam mewujudkan keadialan tersebut, di pasal 17 nya banyak ketertutupan atas informasi, juga tidak di cantumkan keterbukaan tentang Warkah yang menjadi kepastian titik kordinat kepemilikan, ditambah KIP tidak memiliki hak eksekusi atas keputusannya.
Niat JokoWi untuk memiliki Satu Data pun terhadang oleh UU No 14 ini, khususnya dipasal 17, karena syarat untuk terbentuknya satu data harus di mulai dengan keterbukaan, maka sistem Geospasial itu bisa di terapkan untuk mewujudkan capaian Satu Data.
Gagasan FKMTI tentang adu data dari pihak pihak adalah trobosan yang harus nya dijalankan oleh pihak BPN dan Instansi yang Terkait.
Adu data merupakan sarana yang sangat demokratis untuk mencari keadilan.
Secara terpisah, wawancara via telepon dengan Ketua Umum FKMTI menjelaskan,
FKMTI mendorong dibentuknya Komisi Pemberantasan Mafia Tanah dgn konsep Adu Data Alas Dasar Hak Pepemilikan Awal secara terbuka. Penyelesaian harus diruang terbuka karena Mafia Tanah bekerja diruang tertutup melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan gratifikasi baik dgn oknum penegak hukum, BPN dan lain-lain.
Adu Data Alas Dasar Hak Kepemilikan Awal juga dapat menghentikan Konflik pertanahan yang tidak Berkesudahan.
“Ruang terbuka melibatkan seluruh Perguruan Tinggi dan mahasiswa seluruh Indonesia agar generasi muda berperan mengembalikan kedaulatan tanah NKRI,” tandas Supardi Kendi Budiardjo di Jakarta.