KEPRIBETTER.COM, Jakarta – Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Martin Hutabarat mengakui, bahwa ada dua isu yang sedang dibahas MPR RI adalah menyangkut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan masalah periodesasi Presiden Republik Indonesia maksimal dau periode atau tiga periode.
Diakui, bahwa usulan periodesasi ini masih sebatas usul orang perorangan, bukan partai politik atau Presiden.
“Sampai saat ini Presiden Jokowi masih konsisten dengan pernyataannya tetap dua periode. Dari pernyataannya mengatakan, bila usulan tiga periode maka itu sama saja menampar muka saya. Jadi jelas Pak Presiden masih tetap konsisten, dan tidak mungkin membiarkan terjadi perubahan tiga periode,” terang Martin dalam diskusi daring yang digelar Institusi OASI bertajuk “Konstitusionalitas Masa Jabatan Presiden”, Minggu (22/8/2021).
Diskusi daring Institut OASI dimoderatori David Sitorus, dan hadir sebagai pemantik diskusi Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nomensen Sumatera Utara Budiman Sinaga.
Menurut Martin, pembatasan jabatan presiden adalah amanat reformasi tahun 1998. Pasalnya, Jabatan Presiden Soeharto selama tujuh periode mengakibatkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dilingkungan keluarganya. Akibat KKN dalam Pemerintahan Soeharto, Indonesia bukan semakin maju tetapi semakin mundur.
Diakui Martin ketika masuk menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar pada 1987, dia merasakan kekuasaan Presiden sangat kuat sekali. Bahkan, Anggota DPR RI di era Presiden Soeharto tidak bisa berbuat apa-apa. “Untuk bicara di media saja harus ada ijin. Jadi sangat power full, tidak kayak sekarang ini bisa bicara sebebasnya tanpa ijin,” tutur Martin.
Setelah Pemilu 1999, lanjut Martin, terjadi amandemen terhadap Undang-Undang 1945 mengenai batas jabatan presiden. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi jabatan presiden yang terlalu lama. Pada masa Presiden Soekarno juga terjadi jabatan presiden seumur hidup, dan sama hal dengan Presiden Soeharto. Karena itu amandemen tahun 1999 adalah untuk mengoreksi kekuasaan cenderung lama.
Martin memaparkan, di beberapa negara terjadi perubahan kekuasaan. Dia mencontohkan di Rusia dan China dimana kekuasaan presiden dibatasi. “Tapi sekarang ini Rusia dan China dalam periodesasi kekuasaan dulu dibatasi kini agak longgar. Bisa-bisa Presiden Rusia Putin (Vlademir Putin) berkuasa sampai 2030. Presiden China Xi Jinping yang dibatasi dalam periode tapi karena dilihat dalam kebutuhan negara China kekuasaan tidak dibatasi. Di Jerman luar biasa Kanselir Jerman Angela Marker biasa berkuasa lama, walau pun masa jabatan longgar tapi memilih untuk regenerasi,” tambah politisi Partai Gerindra itu.
Martin mengatakan, amandemen bisa saja terjadi namun harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku dalam UUD 1945.
“Masalah penilihan kepala daerah (Pilkada) juga perlu untuk dibicarakan dalam amandemen. dulu orang-orang yang mendukung Pilkada langsung kini berubah perlu adanya perubahan dalam Pilkada,” kata aktifis GMKI Jakarta itu.
Perlu diketahui, sebelum perubahan UUD 1945 Pasal 37 ayat 1 mengatakan, untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MRT RI. Selanjutnya Pasal 37 ayat 2 dikatakan, putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Selanjutnya, setelah perubahan IV UUD 1945 yang dilakukan 10 Agustus 2002, yakni Pasal 37 ayat (1) usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Pakar Hukum Tata Negara Universita Nomensen Sumatera Utara Budiman N.P.D Sinaga mengatakan, bicara jabatan presiden harus berdasarkan konstitusionalitas dan sesuai UUD 1945. “Untuk jabatan presiden sudah dibicarakan dalam rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Indonesia), masa jabatan presiden lima tahun sekali lalu dipilih kembali tapi tidak ada pembatasan sampai berapa periode,” terang Budiman.
Menurut Budiman, memang kekuasan bila tidak dibatasi maka cenderung korup karena itu perlu dibatasi kekuasaan presiden. “Pembatasan presiden adalah amanat reformasi. Jika tidak dibatasi kekuasaan presiden kita bukan maju tapi semakin mundur berdemokrasi,” tambah alumni Universitas Padjajaran itu.
Menurutnya, periodesasi jabatan presiden bisa saja dilakukan asal memenuhi syarat amandemen yang terdapat dalam UUD 1945.
“Tapi persoalan Pilkada juga perlu untuk dibicarakan dengan serius. Karena Pilkada juga selama ini dilakukan tidak memberikan kesejateraan bagi masyarakat. Pemilihan gubernur. walikota atau bupati perlu diamandemen. Cukup pemilihan kepala desa dilakukan secara langsung,” ujar Budiman.
Dalam pembuka diskusi Direktur Institut OASI Sahat H.M.T Sinaga mengatakan, wacana periodesasi presiden digulirkan oleh segelintir orang atau kelompok adalah sah-sah saja dalam negara berdemokrasi. Karenanya, Institut OASI memandang perlu diskusi ini dilakukan sehingga dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat luas. “Ini adalah salah satu pendidikan konstitusional yang kami lakukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Sahat. (Ralian)