KEPRIBETTER.COM, Jakarta – Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanam Modal. Presiden Jokowi meneken peraturan tersebut pada 2 Februari 2021. Di dalam lampiran ketiga nomor urut 31 tercantum industri minuman keras atau miras mengandung alkohol khusus di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
“Untuk penanaman modal baru industri minuman keras mengandung alkohol dapat dilakukan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” demikian tertulis dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021. Apabila penanaman modal berlangsung di luar daerah tersebut, maka harus mendapat penetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM berdasarkan usulan gubernur.
Terlepas kebijakan pemerintah tentang penanaman modal usaha, termasuk pembuatan minuman keras atau miras di Papua, daerah ini punya cerita sendiri bagaimana masyarakat mengenal minuman keras hingga miras sebagai minuman persaudaraan.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan minuman keras atau miras sudah ada di Papua sejak masa prasejarah. Mengutip Peter Bellwood dari Australian National University dalam buku Man Conquest of the Pacific: The Prehistory of South East Asia and Oceania (1978), ada orang berbahasa Austronesia dari Asia yang datang ke pesisir Papua sekitar 3000 tahun yang lalu.
“Merekalah yang mengenalkan minuman beralkohol dan memberikan pengetahuan membuat minuman beralkohol hasil sadapan pohon aren, pohon nipah, atau pohon kelapa,” kata Hari Suroto kepada Tempo, Ahad 28 Februari 2021. Suku-suku di Papua punya sebutan, makna, dan kebiasaan berbeda dalam mengkonsumsi minuman keras.
Suku Maybrat di Ayamaru, Papua Barat, terbiasa minum arak atau dalam bahasa setempat disebut dengan ara dju. Suku Maybrat minum arak dalam pesta atau jika ada tamu. Arak buatan Suku MayBrat berasal dari sadapan pohon aren. Masyarakat daerah utara Danau Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, menyebut arak dengan istilah djy atau tuwoq. “Asalnya dari bahasa Melayu, tuwak,” kata Hari Suroto.
Sementara Suku Tehit di Teminabuan, Sorong, Papua Barat punya sagero yang merupakan minuman persaudaraan. Minuman sagero berasal dari sadapan pohon aren. Ada pula Suku Sentani di Waena, Jayapura, minuman tuak atau sagero yang disadap dari pohon kelapa.
Lain halnya di Nabire, minuman keras atau miras lokal terbuat dari nira nipah. Di Nabire, minuman ini dikenal dengan nama bobo. Miras dari nira pohon aren, pohon kelapa, atau pohon nipah di Papua dikenal sebagai milo atau miras lokal. Sedangkan oplosannya disebut boplas atau minuman botol plastik.
Jika tadi adalah sejarah minuman keras tradisional di Papua, ada pula silsilah minuman keras modern yang dikenalkan oleh pasukan Amerika, Belanda, dan Australia, pada Perang Pasifik tahun 1944. Jayapura atau Hollandia saat itu, oleh Amerika dijadikan sebagai Basis G, markas militer komando untuk wilayah Pasifik Barat Daya. Di sana terdapat sembilan galangan kapal, fasilitas militer, rumah sakit, gudang, toko, dan tentu saja tempat hiburan.
Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cendrawasih, Papua, ini melanjutkan, musuh mereka adalah pasukan Jepang yang membawa miras produk sendiri, yang dikenal dengan sake.
Sumber: Tempo