KEPRIBETTER.COM, Jakarta – Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat GMKI, Malona Trisnawati Aruan mengutarakan, selama Pandemi covid-19 banyak kasus tentang kekerasan terhadap Perempuan menjadi rangkaian pemberitaan dalam tahun 2020. Ironi, di tengah-tengah masyarakat modern yang dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme.
Malona melanjutkan, Secara teori seharusnya dapat menekan berbagai bentuk tindak kekerasan, tetapi budaya kekerasan terus terjadi menjadikan fenomena yang tidak terpisahkan dari peradaban modern.
“Munculnya berbagai kriminalitas seperti; kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wujud perilaku kekerasan,” tegas Malona, Jakarta, Senin (8/2/2021).
Malona mengatakan, bahwa perempuan selalu menjadi objek yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan. “Ruang publik maupun domestik. Sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi?
Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya disayangi dan dilindungi. Namun, disayangkan selalu dijadikan objek dari kekerasan. Bahkan dilakukan oleh laki-laki yang berada sangat dekat dengan mereka, “tukas Malona.
Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan sama dengan kekerasan berbasis gender. Persamaan tersebut bukan tanpa sebab, karena selama ini kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan terjadi karena perbedaan relasi gender yang timpang.
Malona menuturkan, bahwa deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan bahwa, kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan pasiologis termasuk ancaman tindakan tertentu.
Dia menambahkan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
“Data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan selama Pandemi Covid-19 hingga Oktober 2020 memperlihatkan pengaduan didominasi oleh kasus kekerasaan seksual, yakni 61% atau 888 kasus dari total 1458,” jelas Malona.
Selain itu juga, Malona berkomentar, tinggi angka kekerasaan seksual di ranah siber mencapai 659 kasus.
“Secara global Pelacak Respons Gender Global Wanita UNDP UN mengidentifikasi 704 tindakan di 135 Negara untuk mencegah dan menanggapi kekerasaan terhadap perempuan. Data tersebut telah membuktikan bahwa selama pandemi covid-19 menempatkan perempuan masuk dalam kelompok beresiko tinggi,” ucap Malona.
Sementara itu, Ketua Umum PP GMKI Jefri Gultom mengatakan, bahwa Kekerasan Seksual juga tak semata-mata dialami oleh perempuan saja, kelompok orientasi LGBT juga mendapatkan halnya sama. Kendati masyarakat Indonesia belum dapat menerima keberadaan mereka, bukan alasan untuk menganiaya mereka.
“Berbagai tindakan diskriminatif kerap mereka alami dengan alasan orientasi seks dimiliki. Sebagai negara hukum, segala bentuk tindakan kekerasan, pelakunya harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum. Ketegasan hukum akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu pikiran dan perbuatan yang patriarkis dapat perlahan dihilangkan,”ujar Jefri.
Penulis: Ralian